Kamis, 31 Maret 2011

PUISI UNTUK ANJING


ANJING
HAI BINATANG ANJING
BEGITU HINANYA ENGKAU
SAMPAI-SAMPAI ENGKAU DI CAP SEBAGAI HEWAN YANG NAJIS
DARI AIR LIUR HINGGA DARAH
DARI DARAH HINGGA BULU

APAKAH AKU TIDAK MENYADARI ENGKAU
BAHWA SEBENARNYA KAU ADALAH BINATANG YANG PENUH TANDA TANYA

AKU MALU PADA KAMU
MALU SUNGGUH MALU

KAU PUNYA HIDUNG YANG KUAT DAN BISA MENGGUNAKANYA
AKU YANG PUNYA NALAR TAPI NDAK AKU FUNGSIKAN
ADA KEBAIKAN AKU LARI
AKU MENYIMPANG DAN BANYAK DIBENCI ORANG
KAU PUNYA HIDUNG HEBAT TAPI DISAYANG
AKU PUNYA NALAR TAPI DIHINA

SUNGGUH PANTASKAH AKU
MANFAATKAH AKU

JOGJAKARTA 30 JANUARI 2011
»»  Baca Lengkap...

PENCARIAN


SEBENARNYA DI MANA ENGKAU
TIDAK PERNAH BERTEMU DIMANA UJUNGNYA
SUATU HAL YANG BISA DIIBARATKANKAH ENGKAU

WAHAI TEMAN YANG BARHATI LEMBUT
ADAKAH YANG BENAR-BENAR LEMBUT
YANG MENGERTI HANCURNYA JIWA DAN HATIKU
ATAUKAH ENGKAU HANYA MEROMBAK HATIKU
DAN PADA SAATNYA ENGKAU JADIKAN AKU HEWAN PERIHARAANMU
YANG SETIAP HARI KAU SURUH UNTUK MEMUASKAN NAFSUMU

SUNGGUH KEJAM
TAPI KADANG LUNAK
SUNGGUH SERIBU JEMPOL ANJING UNTUKMU

JOGJAKARTA,17-03-2011

»»  Baca Lengkap...

SEJARAH ILMU PENGETAHUAN ISLAM

Disusun Oleh
Mahmud Adibil Mukhtar
BAB I
Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan pada Zaman Islam Klasik
Dilihat dari berbagi persepektif Islam mempunyai berbagai sejarah ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan filsafat Tokoh pelopor fisafat di Yunani yang kita kenal adalah Thales dari daerah Mileta (sekarang pesisir barat Turki). Meski dari sekian banyaknya filsuf Yunani pada zaman itu, hanya beberapa saja yang nama dan teori kefilsafatannya terkemuka yaitu; Shokrates, Plato, dan Aristoteles. Sejarah mengatakan, Shokrates adalah guru dari Plato, sedangkan Aristhoteles adalah murid dari Plato. Namun ada satu pendapat yang mengatakan, bahwa sejarah filsafat tidak lain adalah sebuah komentar-komentar karya Plato. Hal ini dikarenakan pengaruh plato yang begitu besar pada zamannya.[1]
Dari pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa filsafat adalah studi yang mempelajari tentang fenomena atau gejala-gejala kehidupan, alam dan pemikiran manusia secara kritis. Yang secara teori, filsafat sepenuhnya memakai Logika Berfikir dan Logika Bahasa. Dari aspek sejarah juga mencatat, bahwa filsafat ada sejak zaman dulu pada era peradaban Yunani.

Dalam dunia Islam, ilmu bermula dari keinginan untuk memahami wahyu yang terkandung dalam Al-Qur'an dan bimbingan Nabi Muhammad SAW mengenai wahyu tersebut. Al-'ilm itu sediri dikenal sebagai sifat utama Allah SWT. Dalam bentuk kata yang berbeda, Allah SWT disebut juga sebagai al-'Alim dan 'Alim, yang artinya "Yang Mengetahui" atau "Yang Maha Tahu." Ilmu adalah salah satu dari sifat utama Allah SWT dan merupakan satu-satunya kata yang komprehensif serta bisa digunakan untuk menerangkan pengetahuan Allah SWT.
Keterangan tafsir sering kali ditekankan sehubungan dengan kelima ayat Al-Qur'an yang paling pertama diwahyukan (QS.96:l-5), antara lain bahwa ajaran Islam sejak awal meletakkan semangat keilmuan pada posisi yang amat penting. Banyaknya ayat Al-Qur'an dan hadis Nabi SAW tentang ilmu antara lain memberi kesan bahwa tujuan utama hidup ini ialah memperoleh ilmu tersebut.
Dalam hubungan ini, sebagian ahli menerangkan perkembangan ilmu dalam Islam dengan melihat cara pendekatan yang ditempuh kaum muslimin terhadap wahyu dalam menghadapi suatu situasi di mana mereka hidup, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Menurut pendekatan ini, generasi pada masa Nabi Muhammad SAW telah menangkap semangat ilmu yang diajarkan oleh Islam yang disampaikan oleh Nabi SAW tetapi semangat itu baru menampakkan dampak yang amat luas setelah Nabi SAW wafat. Hadirnya Nabi SAW di tengah-tengah kaum muslimin pada generasi pertama sebagai pimpinan dan tokoh sentral menyebabkan semua situasi dan persoalan-persoalan yang muncul dipulangkan kepada dan diselesaikan oleh Nabi SAW.[2]
Generasi sesudah Nabi SAW wafat, yang menyaksikan proses berlangsung dan turunnya wahyu sehingga berhasil menginternalisasi dan menyerapnya ke dalam diri mereka, menilai situasi yang mereka hadapi dengan semangat wahyu yang telah mereka serap. Penilaian terhadap situasi  baru yang lebih bercorak intelektual berlangsung pada generasi tabiin dan tabiit tabiin (tabi'at-tabi'in) karena metode yang dipakai menyerupai  metode ilmu yang dikenal kemudian, bahkan sebagian metode ilmu yang dikenal sekarang berasal dari generasi tersebut. Metode tersebut adalah metode nass, yaitu mencari rujukan kepada ayat-ayat Al-Qur'an dan teks-teks  hadis yang sifatnya langsung, jelas, dan merujuk pada situasi yang dihadapi, atau mencari teks yang cukup dekat dengan situasi atau masalah yang dihadapi bila teks langsung tidak diperoleh. Metode yang lainnya disebut metode kias atau penalaran analogis.
BAB II
PENDEKATAN ILMU
Menurut pendekatan ini, pemikiran tentang hukum adalah ilmu yang paling awal tumbuh dalam Islam. Munculnya sejumlah hadist yang digunakan untuk keperluan pemikiran hukum, di samping ayat-ayat Al-Qur'an, menjadikan hadist pada masa-masa tersebut tumbuh menjadi ilmu tersendiri. Dengan alasan yang berbeda dengan lahirnya ilmu hukum, teologi atau ilmu kalam muncul menjadi ilmu yang berpangkal pada persoalan-persoalan politik, khususnya pada masa kekhalifahan Usman bin Affan dan Ali bin Abi Talib. Ilmu kalam semakin menegaskan dirinya sebagai disiplin ilmu tersendiri ketika serangan yang ditujukan kepada Islam memakai pemikiran filsafat sebagai alat. Oleh karena itu, dirasakan bahwa penyerapan filsafat merupakan suatu keharusan untuk dipakai dalam membela keyakinan-keyakinan Islam.
Perkembangan ilmu paling pesat dalam Islam terjadi ketika kaum muslimin bertemu dengan kebudayaan dan peradaban yang telah maju dari bangsa-bangsa yang mereka taklukkan. Perkembangan tersebut semakin jelas sejak permulaan kekuasaan Bani Abbas pada pertengahan abad ke-8. Pemindahan ibukota Damsyik (Damascus) yang terletak di lingkungan Arab ke Baghdad yang berada di lingkungan Persia yang telah memiliki budaya keilmuan yang tinggi dan sudah mengenal ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani, menjadi alat picu semaraknya semangat keilmuan yang telah dimiliki oleh kaum muslimin.
Pada masa ini umat islam telah banyak melakukan kajian kritis tentang ilmu pengetahuan sehingga ilmu pengetahuan baik aqli ( rasional ) maupun yang naqli mengalami kemajuan dengan sangat pesat. Proses pengalihan ilmu pengetahuan dilakukan dengan cara penerjemahan berbagai buku karangan bangsa-bangsa terdahulu, seperti bangsa yunani, romawi, dan persia, serta berbagai sumber naskah yang ada di timur tengah dan afrika, seperti mesopotamia dan mesir.
Diantara banyak ahli yang berperan dalam proses perkembangan ilmu pengetahuan adalah kelompok Mawali atau orang-orang non arab, seperti orang persia. Pada masa itu, pusat kajian ilmiah bertempat di masjid-masjid, misalnya masjid Basrah. Di masjid ini terdapat kelompok studi yang disebut Hal aqat Al Jadl, Halaqad Al Fiqh, Halaqad Al Tafsir wal Hadist, Halaqad Al-Riyadiyat, Halaqad lil Syiri wal adab, dan lain-lain. Banyak orang dari berbagai suku bangsa yang datang ke pertemuan ini. Dengan demikian berkembanglah kebudayaan dan ilmu pengetahuan dalam islam.
Pada permulaan Daulah Abbasiyah, belum terdapat pusat-pusat pendidikan formal, seperti sekolah-sekolah, yang ada hanya beberapa lembaga non formal yang disebut Masjid. Baru pada masa pemerintahan Harun Al Rasyid didirikanlah lembaga pendidikan formal seperti Darul Hikmah yang kemudian dilanjutkan dan disempurnakan oleh Al Makmun. Dari lembaga inilah banyak melahirkan para sarjana dan ahli ilmu pengetahuan yang membawa kejayaan Daulah Abbasiyah dan umat islam pada umumnya. Masa ini dicatat oleh sejarah sebagai masa kaum muslimin menyerap khazanah ilmu dari luar tanpa puas-puasnya
Pada mulanya, suatu karya diterjemahkan dan dipelajari karena alasan praktis. Misalnya, ilmu kedokteran dipelajari untuk mengobati penyakit khalifah dan keluarganya untuk mendapatkan kesempurnaan pelaksanaan ibadah, ilmu falak berkembang dalam menentukan waktu shalat secara akurat. Akan tetapi, motif awal dipelajarinya ilmu-ilmu tersebut ternyata pada perkembangan selanjutnya mengalami pertumbuhan sedemikian rupa, sehingga tidak lagi terbatas untuk keperluan-keperluan praktis dan ibadah tetapi juga untuk keperluan yang lebih luas, misalnya, untuk pengembangan ilmu itu sendiri. Dengan demikian, ilmu yang diserap itu ditambah dan dikembangkan lagi oleh kaum muslimin dengan hasil-hasil pemikiran dan penyelidikan mereka.
Beberapa disiplin ilmu yang sudah berkembang pada masa klasik Islam adalah: ilmu fikih, ilmu kalam, ilmu hadis, ilmu tafsir, ilmu usul fikih, ilmu tasawuf, yang biasa pula disebut sebagai bidang ilmu naqli, ilmu-ilmu yang bertolak dari nas-nas Al-Qur'an dan hadis. Adapun dalam bidang ilmu aqli atau ilmu rasional, yang berkembang antara lain ilmu filsafat, ilmu kedokteran, ilmu farmasi, ilmu sejarah, ilmu astronomi dan falak, ilmu hitung, dan lain-lain.
Pada masa ini dikenal banyak sekali pakar dari berbagai ilmu, baik orang Arab maupun muslim non-Arab. Sejarah juga mencatat, bahwa untuk pengembangan ilmu-ilmu tersebut para pakar muslim bekerja sama dengan pakar-pakar lainnya yang tidak beragama Islam. Muhammad bin Ibrahim al-Fazari dipandang sebagai astronom Islam pertama. Muhammad bin Musa al-Khuwarizmi (wafat 847M) adalah salah seorang pakar matematika yang mashyur. Ali bin Rabban at-Tabari dikenal sebagai dokter pertama dalam Islam, di samping Abubakar Muhammad ar-Razi (wafat 925M) sebagai seorang dokter besar. Jabir bin Hayyan (wafat 812M) adalah "bapak" ilmu kimia dan ahli matematika. Abu Ali al-Hasan bin Haisam (wafat 1039M) adalah nama besar di bidang ilmu optik. Ibn Wazih al-Yakubi, Abu Ali Hasan al-Mas'udi (wafat 956M), dan Yakut bin Abdillah al-Hamawi adalah nama-nama tenar untuk bidang ilmu bumi (geografi) Islam dan Ibnu Khaldun untuk kajian bidang ilmu sejarah. Disamping nama-nama besar diatas, masih banyak lagi pakar-pakar ilmu lainnya yang sangat besar peranannya dalam perkembangan ilmu pengetahuan.
BAB III
KESIMPULAN
Besarnya pengaruh bidang keilmuan yang ditinggalkan kaum ilmuwan muslim pada abad-abad yang lampau tidak hanya tampak pada banyaknya nama-nama pakar muslim yang disebut dan ditulis dalam bahasa Eropa, tetapi juga pada pengakuan yang diberikan oleh dan dari berbagai kalangan ilmuwan. Zaman Kebangkitan atau Zaman Renaisans di Eropa, yang di zaman kita telah melahirkan ilmu pengetahuan yang canggih, tidak lahir tanpa andil yang sangat besar dari pemikiran dan khazanah ilmu dari ilmuwan muslim pada masa itu.



DAFTAR PUSTAKA
·         Ankersmit, F.R., Refleksi Tentang Sejarah : Pendapat-pendaat Modern tentang Filsafat Sejarah, Cet.1, Pt. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1987.
·         Qardhawi, Yusuf. Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah. Murodi,dkk Sejarah Kebudayaan Islam. PT Toha Putra Semarang.2003.
·         Wuisman, J.J.J.M, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, jilid 1, Lembaga Penerbit FE UI, Jakarta, 1996.


[1] Pendapat-pendaat Modern tentang Filsafat Sejarah, Cet.1, Pt. Gramedia Pustaka Utama hal. 32
[2] Qardhawi, Yusuf. Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah hal 23

»»  Baca Lengkap...

PEMIKIRAN MOHAMMAD ABDUH DALAM PEMBARUAN ISLAM DI MESIR

Disusun oleh
Mahmud Adibil Mukhtar
BAB I
PENDAHULUAN

            Muhammad Abduh termasuk salah satu pembaharu agama dan sosial di Mesir pada abad ke 20 yang pengaruhnya sangat besar di dunia Islam. Dialah penganjar yang sukses dalam membuka pintu ijtihad untuk menyesuaikan Islam dengan tuntutan zaman modern.
Di dunia Islam Ia terkenal dengan pembaharuannya di bidang keagamaan, dialah yang menyerukan umat Islam untuk kembali kepada Al Quran dan Assunnah as Sahihah. Ia juga terkenal dengan pembaharuannya dibidang pergerakan (politik), dimana Ia bersama Jamaludin al-Afgani menerbitkan majalah al’Urwatul Wutsqa di Paris yang makalah-makalahnya menghembuskan semangat nasionalisme pada rakyat Mesir dan dunia Islam pada umumnya.
Disamping Ia dikenal sebagai pembaharu dibidang keagamaan dan pergerakan (politik), Ia juga sebagai pembaharu dibidang pendidikan Isalam, dimana Ia pernah menjabat Syekh atau rektor Universitas AlAzhar di Cairo Mesir. Pada masa menjabat rektor inilah Ia mengadakan pembaharuan-pembaharuan di Universitas tersebut,yang pengaruhnya sangat luas di dunia Islam. Dan usaha–usaha pembaharuan inilah yang akan dibahas dalam makalah ini.
           



BAB II
PEMBAHASAN
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah. Dilahirkan di desa Mahallat Nashr di Kabupaten al-Buhairah, Mesir pada tahun 1849 M dan wafat pada tahun 1905 M. Ayahnya, Abduh bin Hasan Khairullah, mempunyai silsilah keturunan dengan bangsa Turki. Sedangkan ibunya, mempunyai silsilah keturunan dengan tokoh besar Islam, Umar bin Khattab.
Pendidikan pertama yang ditekuni Muhammmad Abduh adalah belajar Al-Qur'an, dan berkat otaknya yang cemerlang maka dalam waktu dua tahun, ia telah hafal kitab suci dalam usia 12 tahun. Pendidikan formalnya dimulai ketika ia dikirim ayahnya ke perguruan agama di masjid Ahmadi yang terletak di desa Thantha. Namun karena sistim pembelajarannya yang dirasa sangat membosankan, akhirnya ia memilih untuk menimba ilmu dari pamannya, Syekh Darwisy Khidr di desa Syibral Khit yang merupakan seseorang berpengetahuan luas dan penganut paham tasawuf. Selanjutnya, Muhammad Abduh melanjutkan studinya ke Universitas Al Azhar, di Kairo dan berhasil menyelesaikan kuliahnya pada tahun 1877.
Muhammad Abduh dibesarkan dalam asuhan keluarga yang tidak  ada hubungannya dengan dunia pendidikan sekolah tetapi mempunyai jiwa keagamaan yang teguh. Proses pendidikannya dimulai dengan belajar Al-Quran sebelum oleh orangtuanya diserahkan kepada seorang guru agama di  Masjid Tanta untuk  belajar bahasa Arab dan ilmu-ilmu agama dari Syekh Ahmad tahun  1862.
Pada usia 16 tahun, Abduh menikah. Tidak lama kemudian, ia kembali ke Tanta setelah mendapat nasihat dari pamanya  Syekh Darwis seorang penganut tarekat Sanusiyah. Setelah menyelesaikan studi di Tanta,  pada tahun 1866 Muhammad Abduh melanjutkan studinya di Al-Azhar dan selesai pada tahun 1877 dengan mencapai gelar Alim.
Setelah tamat dari Al-Azhar, Muhammad Abduh kemudian  mengajar di almamaternya dan Darul Ulum, disamping mengajar di rumahnya. Di antara buku  yang diajarkannya adalah buku akhlak karangan Ibnu Maskawih, buku Muqaddimah karangan Ibnu Khaldun dan sejarah kebudayaan Eropa karangan  Guizote yang diterjemahkan oleh Al-Thanthawi.
Sejarah Perjuangan dan Kehidupan Politik

Setelah Abduh menyelesaikan studinya di al Azhar pada tahun 1877, atas usaha Perdana Menteri Mesir, Riadl Pasya, ia di angkat menjadi dosen pada Universitas Darul Ulum dan Universitas al Azhar. Dalam memangku jabatannya itu, ia terus mengadakan perubahan-perubahan yang radikal. Dia menggugat model lama dalam bidang pengajaran dan dalam memahami dasar-dasar keagamaan sebagaimana yang dialaminya sewaktu belajar di masjid al-Ahmadi dan di al Azhar. Dia menghendaki adanya sistim pendidikan yang mendorong tumbuhnya kebebasan berpikir, menyerap ilmu-ilmu modern dan membuang
cara-cara lama yang kolot dan fanatik Sebagai murid Jamaluddin al-Afghani, maka pikiran politiknya pun sangat dekat dengannya. Al Afghanyadalah seorang revolusioner yang secara serius memandang penting bangkitnya bangsa-bangsa timur guna melawan dominasi Barat.
Pada tahun 1879, pemerintahan Mesir berganti dengan turunnya Chedive Ismail dan digantikan puteranya, Taufiq Pasya. Pemerintahan yang baru ini sangat kolot dan reaksioner sehingga berdampak pada dipecatnya Abduh dari jabatannya dan diusirnya al Afghany dari Mesir. Tetapi pada tahun berikutnya Abduh kembali mendapatkan tugas dari pemerintah untuk memimpin penerbitan majalah "al Wakai' al Mishriyah". Kesempatan ini dimanfaatkan Abduh untuk menuangkan isi hatinya dalam bentuk artikel-artikel serta pemerintah tentang nasib rakyat, pendidikan dan pengajaran di Mesir.
Pada tahun 1882, Abduh dibuang ke Syiria (Beirut) karena dianggap ikut andil dalam pemberontakan yang terjadi di Mesir pada saat itu. Disini ia mendapat kesempatan untuk mengajar di Universitas Sulthaniyah selama kurang lebih satu tahun.
Pada permulaan tahun 1884, Abduh pergi ke Paris atas panggilan al Afghany yang pada waktu itu telah berada disana. Bersama al Afghany, disusunlah sebuah gerakan untuk memberikan kesadaran kepada seluruh umat Islam yang bernama "al 'Urwatul Wutsqa". Untuk mencapai cita-cita gerakan tersebut, diterbitkanlah pula sebuah majalah yang juga diberi nama "al 'Urwatul Wutsqa". Suara kebebasan yang ditiupkan al Afghany dan Abduh melalui majalah ini menggema ke seluruh dunia dan memberikan pengaruh yang cukup kuat terhadap kebangkitan umat Islam. Sehingga dalam waktu yang sangat singkat, kaum imperialis merasa khawatir atas gerakan ini dan akhirnya pemerintah Inggris melarang majalah tersebut masuk ke wilayah Mesir dan India.
Pada akhir tahun 1884, setelah majalah tersebut terbit pada edisi ke-18, pemerintah Perancis melarang diterbitkannya kembali majalah 'Urwatul Wutsqa. Kemudian Abduh diperbolehkan kembali ke Mesir dan al Afghany melanjutkan pengembaraannya ke Eropa.
Setelah kembali ke Mesir, Abduh kembali diberi jabatan penting oleh pemerintah Mesir. Ia juga membuat perbaikan-perbaikan di Universitas al Azhar. Puncaknya, pada tanggal 3 Juni 1899, Abduh mendapatkan kepercayaan dari pemerintah Mesir untuk menduduki jabatan sebagai Mufti Mesir. Kesempatan ini dimanfaatkan Abduh untuk kembali berjuang meniupkan ruh perubahan dan kebangkitan kepada umat Islam.

Metode Muhammad Abduh dalam pembaharuan
            Dalam melakukan perbaikan Muhammad Abduh memandang bahwa suatu perbaikan tidaklah selamanya datang melalui revolusi atau cara serupa. Seperti halnya perubahan sesuatu secara cepat dan drastis. Akan tetapi juga dilakukan melalui perbaikan metode pemikiran pada umat islam. Melaui pendidikan, pembelajaran,dan perbaikan akhlaq. Juga dengan pembentukan masyarakat yang berbudaya dan berfikir yang bisa melakukan pembaharuan dalam agamanya. Sehingga dengannya akan tercipta rasa aman dan keteguhan dalam menjalankan agama islam. Muhammad Abduh menilai bahwa cara ini akan membutuhkan waktu lebih panjang dan lebih rumit. Akan tetapi memberikan dampak perbaikan yang lebih besar dibanding melalui politik dan perubahan secara besar-besaran dalam mewujudkan suatu kebangkitan dan kemajuan. Sebagaimana telah didefinisikan bahwa pembaharuan (tajdid) adalah kebangkitan dan penghidupan kembali dalam bidang keilmuan Islam dan aplikasi sebagaimana pada zaman Rasullullah dan para sahabat. Yang selama ini sempat hilang, terlupakan, bahkan terhapus dari tubuh umat Islam.
            Sebagaimana telah diungkapkan oleh Muhammad Abduh bahwa metodenya dalam perbaikan adalah jalan tengah. Dalam hal ini beliau membagi umat Islam kepada 2 bagian yaitu:
1.      Mereka yang condong kepada ilmu-ilmu agama dan apa yang berhubungan dengan itu semua. Mereka itu yang biasa disebut al-muqallid.
2.      Mereka yang condong pada ilmu-ilmu dunia. Yang silau dan kagum akan barat serta berbagai disiplin ilmu yang dimiliki,dan kemajuannya dalam bidang materi.
            Metode dalam pembaharuan yang digunakan oleh Muhammad Abduh adalah mengambil jalan tengah antara kedua kelompok diatas. Menyeimbangkan antara kedua jalan tersebut. Yaitu antara kelompok yang berpegang teguh pada kejumudan taqlid dan mereka yang berlebihan dalam mengikuti barat baik itu pada budaya dan disiplin ilmu yang mereka miliki. Sebagaimana yang diungkapan oleh Muhammad Abduh dalam metode pembaharuannya: “sesengguhnya aku menyeru kepada kebebasan berfikir dari ikatan belenggu taqlid dan memahami agama sebagaimana salaful ummat terdahulu”. Yang dimaksud dengan salaful umat di sini adalah kembali kepada sumber-sumber yang asli yaitu al-qur’an dan al-hadist sebagaimana yang dipraktikkan oleh para salafus shaleh terdahulu.
Dampak pemikiran Muhammad Abduh dalam pemikiran islam kontemporer
            Mohammad Abduh adalah seorang pelopor reformasi dan pembaharuan dalam pemikiran Islam. Ide-idenya yang cemerlang, meninggalkan dampak yang besar dalam tubuh pemikiran umat Islam. beliaulah pendiri sekaligus peletak dasar-dasar sekolah pemikiran pada zaman modern juga menyebarkannya kepada manusia. Walau guru beliau Jamal Al-Afghani adalah sebagai orang pertama yang mengobarkan percikan pemikiran dalam jiwanya, akan tetapi Imam Muhammad Abduh sebagai mana diungkapkan Doktor. Mohammad Imarah, adalah seorang arsitektur terbesar dalam gerakan pembaharuan dan reformasi atau sekolah pemikiran modern. Melebihi guru beliu Jamaluddin Al-Afghani.
            Muhammad Abduh memiliki andil besar dalam perbaikan dan pembaharuan pemikiran Islam kontemporer. Telah banyak pembaharuan yang beliau lakukan diantaranya:
1.      Reformasi pendidikan
            Mohammad Abduh memulai perbaikannya melalui pendidikan. Menjadikan pendidikan sebagai sektor utama guna menyelamatkan masyarakat mesir. menjadikan perbaikan sistem pendidikan sebagai asas dalam mencetak muslim yang shaleh.
2.      Mendirikan lembaga dan yayasan sosial.
            Sepak terjang dalam perbaikan yang dilakukan Muhammad Abduh tidak hanya terbatas pada aspek pemerintahan saja seperti halnya perbaikan pendidikan dan Al-Azhar. Akan tetapi lebih dari itu hingga mendirikan beberapa lembaga-lembaga sosial. Diantaranya: JamiĆ¢ah khairiyah islamiyah,jami’ah ihya al-ulum al-arabiyah,dan juga jami’ah at-taqorrub baina al-adyan.
3.      Mendirikan sekolah pemikiran.
            Muhammad Abduh adalah orang pertama yang mendirikan sekolah pemikiran kontemporer. Yang memiliki dampak besar dalam pembaharuan pemikiran islam dan kebangkitan akal umat muslim dalam menghadapi musuh-musuh islam yang sedang dengan gencar menyerang umat muslim saat ini.



BAB III
KESIMPULAN
          Jadi demikian tentang ajaran muhammad abduh terkait dengan pemikirannya. Perjuangagan muhammad abduh sangat panjang, dimulai dari keluaraga tidak mampu dan akhirnya jadi orang besar. Insiatif beliau cukup  cerdas walaupun dalam memimpin beliau agak otoriter.  Dan dalam mengembangkan pemikirannya muhammad abduh mengambil beberapa asapek yaitu mendirikan reformasi pendidikan, mendirikan lembagaa sosial, mendirikan sekolah pemikiran dll. Mungkin masih sekali langkah yang ditempuh selain yang dipaparkan diatas.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1.        Nasution, Harun.1984.teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI-Press.
2.        Ridho, Muhammad Rashid. Tarikh al-Ustaadz  al-Imam Muhammad Abduh. Mesir: Al-Manar.
4.        Aziz, zhmad Amir. Pembarian Teologi Pespektif Modeernisme Muhammad Abduh dan neo Modernisme Fazlur Rohman. Yogyakarta: Teras

»»  Baca Lengkap...

Senin, 07 Maret 2011

Masjid Sewulan, Situs Tua dan Keramat di Madiun


Oleh : Mahmud Adibil Mukhtar

Bulan ramadhan adalah salah satu bulan yang istimewa (sayyidu asy syuhur) bagi umat Islam di seluruh penjuru dunia. Bulan ini merupakan bulan, dimana untuk pertama kalinya kalam ilahi tersampaikan kepada Muhammad SAW sekaligus menjadi pertanda lahirnya  Islam, agama Ibrahimiyah yang terakhir. Di bulan ini pula anugerah lailat al Qodr secara acak disusupkan oleh Tuhan untuk melengkapi berbagai rahmat, kemuliaan dan barokah yang dicurahkanNya di bulan ini. Saking istimewanya bulan ini, sampai sampai Muhammad berani menjamin, jika ada orang yang “sekedar senang” saat tibanya bulan ini, maka api neraka enggan menyentuh tubuhnya. Karena itulah, sebagian kaum muslim memanfaatkan betul kesempatan ini khususnya di hari-hari terakhir dengan beriktikaf di Masjid.

Bagi sebagian pegiat iktikaf (riyadhoh), pilihan masjid menjadi pertimbangan khusus. Masjid-masjid tua dan bernuansa keramat sering menjadi tujuan utama untuk beriktikaf. Di kawasan Madiun bagian selatan, selain Masjid Agung Baitul Hakim yang berhadapan dengan alun-alun Kota Madiun, ada tiga masjid yang dianggap keramat. Ketiga masjid tersebut adalah Masjid  Nur Hidayatullah (Kelurahan Kuncen, Kota Madiun), Masjid  Donopuro (Kelurahan Taman, Kota madiun) dan Masjid Agung Sewulan (Desa Sewulan, Kabupaten Madiun). Ketiga masjid tua tersebut setidaknya memiliki dua kesamaan, yakni sama-sama memiliki bangunan dengan prototipe Masjid Demak dan sama-sama “memiliki” areal makam tua.

Masjid Sewulan yang berada sekitar 6 km arah selatan dari Kota Madiun merupakan masjid yang didirikan oleh Raden Mas Bagus Harun (Kiai Ageng Basyariyah). Masjid yang juga sering disebut dengan Masjid Basyariyah ini didirikan pada tahun 1740 M/1160 H. Masjid kecil ini awalnya hanyalah masjid dengan bangunan sederhana. Kemudian pada tahun 1921, Masjid yang berada di Desa Sewulan Kecamatan Dagangan Kabupaten Madiun ini direnovasi dan “diresmikan” pertama kalinya oleh KH Qolyubi Bin Ilyas, Penghulu Surabaya yang juga salah satu keturunan dari Kiai Ageng Basyariyah. Selanjutnya Masjid ini juga mengalami sedikit renovasi pada bagian serambi (gote’an) utara dan selatan di  akhir kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Karena merupakan situs bersejarah dan banyak dikunjungi para peziarah, kawasan Masjid ini “dilirik” oleh Badan Purbakala Mojokerto dan dijadikan sebagai salah satu cagar budaya. Badan purbakala tersebut bersama-sama dengan pengurus takmir dan warga sekitar juga membuat lahan parkir baru seluas 860 meter persegi yang hingga tulisan ini diturunkan kini masih dalam tahap finishing.

Kasawan Desa Sewulan dan sekitarnya dulunya adalah tanah perdikan (tanah pemberian raja yang bebas pajak) yang diberikan oleh Sultan Mataram kepada Kiai Ageng Basyariyah. Nama “sewulan” diambil dari kata sewu wulan (seribu bulan). Nama ini ada kisahnya yang sarat dengan tirakat dan karomah yang diangugerahkan Allah kepada Kiai Ageng Basyariyah.

Konon, Kiai Ageng Basyariyah dianugerahi songsong (payung) sakti oleh Raja Mataram yang dipergunakan untuk memilih tanah perdikan bagi Kiai Ageng Basyariyah dan anak turunnya. Awalnya, Kiai Ageng Basyariyah melarung payung tersebut di sebuah sungai di kawasan Bang Pluwang, Nglengkong, Sukorejo, Ponorogo. Namun atas titah gurunya (Kiai Hasan Besari), Kiai Ageng Basyariyah disuruh mencari kembali payung tersebut ke arah timur. Setelah menemukan tempat dimana payung sakti tersebut muncul, Kiai Ageng Basyariyah disuruh untuk mengembangkan Islam di sana. Selama berbulan-bulan Kiai Ageng Basyariyah mencari payung tersebut hingga tiba bulan Ramadhan. Tepat di malam lailat al Qodr, Kiai Ageng Basyariyah bertemu kembali dengan payung sakti miliknya. Karena ditemukan pada malam lailat al Qodr (yang juga diartikan sebagai malam seribu bulan), Kiai Ageng Basyariah menamai tanah perdikan tersebut dengan nama “Sewulan” dan mulai mendirikan masjid di dan mengajarkan Islam di situ.

Untuk masuk ke kompleks masjid ini,  ada dua jalur yakni jalur utara dan jalur timur.  Jalur utara hanya bisa dilalui oleh kendaraan roda dua dan menerobos kompleks SMA Basyariah. Adapun jalur timur jalannya lebih lebar dan bisa dilalui kendaraan roda empat. Di jalur timur ini terdapat pintu Gapuro dengan kubah mungil di bagian atap tengah. Di bawahnya terdapat tulisan “Sewulan” sebagai pertanda masuk di kawasan Masjid Sewulan. Di bagian dalam gapuro, di sebelah kanan kiri, terdapat papan tulisan yang dibuat oleh Badan Purbakala untuk menjelaskan bahwa kawasan ini di bawah pengelolaan  “negara”.

Setelah masuk ke dalam, di bagian sebelah kiri  nampak sebuah gapuro lebih kecilbertuliskan Makam  Kyai Ageng Basyariyah. Di depannya terdapat bangunan yang biasanya dipakai peziarah untuk beristirahat. Menurut  Masrukhan, salah seorang peziarah, bangunan ini adalah bangunan paling baru di kompleks masjid ini. Secara fungsional, bangunan baru tersebut menopang dua serambi Masjid yang juga kerap difungsikan sebagai gote’an (tempat istirahat sejenak) bagi para peziarah.

Yang menarik dari masjid ini adalah keberadaan kolam tempat bersuci (wudhu dan mandi) bagi jamaah. Masjid pada umumnya, menempatkan areal untuk bersuci di bagian samping atau dalam masjid. Di Masjid Sewulan ini, temapt untuk bersuci di tempatkan tepat bagian depan tengah. Itulah mengapa serambi masjid ini tidak ditempatkan di depan. Kolam ini seakan menyiratkan pesan bahwa untuk beribadah di masjid ini “kesucian” harus didahulukan.

Masjid ini menurut HM Baidhowi, salah seorang sesepuh di Sewulan sarat dengan makna simbolis. Misalnya atap berundak tiga yang menaungi bangunan utama memiliki makna bahwa setelah seseorang  mengaku Islam maka tidaklah cukup hanya dengan bersyariat saja maka sebaiknya di teruskan dengan 3 tingkat yang selanjutnya, yaitu; Thoriqoh, Ma’rifat dan hakekat.  Induk Masjid yang memiliki 4 pintu dan 5 jendela ini juga memiliki makna, yakni pentingnya menguasai babagan howo songo. Sementara 4 tiang masjid yang menyangga  induk masjid menyimbulkan empat madzhab. Artinya, masjid ini sekaligus juga menjadi tempat untuk mengajaran pemahaman sunny.

Secara formal, seperti masjid pada umumnya, Masjid ini dikelola oleh takmir (yang mengurusi masalah administratif) dan imam (pemangku masjid yang berperan sebagai imam utama atau disebut juga sebagai imam rowatib). Berikut estafet kepemimpinan Imam Rowatib Masjid Al-Basyariyyah sejak zaman Kiai Ageng Basyariyah hingga sekarang.

1.        Kyai Ageng Basyariyah (Kyai Ageng Sewulan I)
2.        Kyai Ageng Maklum Ulama(Kyai Ageng Sewulan II)
3.        Kyai Ageng Mustaram I (Kyai Ageng Sewulan III)
4.        Kyai Muh Abror
5.        Kyai ‘Abdul Karim I
6.        Kyai Muh Na’im Sudomo
7.        Kyai ‘Abdul Malik (1942-1948)
8.        Kyai Muh Qomaruddin (1948-1994)
9.        Kyai’Abdul Karim II (1994-2002)
10.      Kyai Ma’sum Chasbulloh (2002- sampai sekarang)


Sumber tertulis :

Drs. HM. Baidowi, Kanjeng Kyai Ageng Basyariyyah, R. Mas Bagus Harun Sewulan Bangsa Harya : Pendiri Perdikan Sewulan-Dagangan- Madiun

»»  Baca Lengkap...