Kamis, 31 Maret 2011

SEJARAH ILMU PENGETAHUAN ISLAM

Disusun Oleh
Mahmud Adibil Mukhtar
BAB I
Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan pada Zaman Islam Klasik
Dilihat dari berbagi persepektif Islam mempunyai berbagai sejarah ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan filsafat Tokoh pelopor fisafat di Yunani yang kita kenal adalah Thales dari daerah Mileta (sekarang pesisir barat Turki). Meski dari sekian banyaknya filsuf Yunani pada zaman itu, hanya beberapa saja yang nama dan teori kefilsafatannya terkemuka yaitu; Shokrates, Plato, dan Aristoteles. Sejarah mengatakan, Shokrates adalah guru dari Plato, sedangkan Aristhoteles adalah murid dari Plato. Namun ada satu pendapat yang mengatakan, bahwa sejarah filsafat tidak lain adalah sebuah komentar-komentar karya Plato. Hal ini dikarenakan pengaruh plato yang begitu besar pada zamannya.[1]
Dari pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa filsafat adalah studi yang mempelajari tentang fenomena atau gejala-gejala kehidupan, alam dan pemikiran manusia secara kritis. Yang secara teori, filsafat sepenuhnya memakai Logika Berfikir dan Logika Bahasa. Dari aspek sejarah juga mencatat, bahwa filsafat ada sejak zaman dulu pada era peradaban Yunani.

Dalam dunia Islam, ilmu bermula dari keinginan untuk memahami wahyu yang terkandung dalam Al-Qur'an dan bimbingan Nabi Muhammad SAW mengenai wahyu tersebut. Al-'ilm itu sediri dikenal sebagai sifat utama Allah SWT. Dalam bentuk kata yang berbeda, Allah SWT disebut juga sebagai al-'Alim dan 'Alim, yang artinya "Yang Mengetahui" atau "Yang Maha Tahu." Ilmu adalah salah satu dari sifat utama Allah SWT dan merupakan satu-satunya kata yang komprehensif serta bisa digunakan untuk menerangkan pengetahuan Allah SWT.
Keterangan tafsir sering kali ditekankan sehubungan dengan kelima ayat Al-Qur'an yang paling pertama diwahyukan (QS.96:l-5), antara lain bahwa ajaran Islam sejak awal meletakkan semangat keilmuan pada posisi yang amat penting. Banyaknya ayat Al-Qur'an dan hadis Nabi SAW tentang ilmu antara lain memberi kesan bahwa tujuan utama hidup ini ialah memperoleh ilmu tersebut.
Dalam hubungan ini, sebagian ahli menerangkan perkembangan ilmu dalam Islam dengan melihat cara pendekatan yang ditempuh kaum muslimin terhadap wahyu dalam menghadapi suatu situasi di mana mereka hidup, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Menurut pendekatan ini, generasi pada masa Nabi Muhammad SAW telah menangkap semangat ilmu yang diajarkan oleh Islam yang disampaikan oleh Nabi SAW tetapi semangat itu baru menampakkan dampak yang amat luas setelah Nabi SAW wafat. Hadirnya Nabi SAW di tengah-tengah kaum muslimin pada generasi pertama sebagai pimpinan dan tokoh sentral menyebabkan semua situasi dan persoalan-persoalan yang muncul dipulangkan kepada dan diselesaikan oleh Nabi SAW.[2]
Generasi sesudah Nabi SAW wafat, yang menyaksikan proses berlangsung dan turunnya wahyu sehingga berhasil menginternalisasi dan menyerapnya ke dalam diri mereka, menilai situasi yang mereka hadapi dengan semangat wahyu yang telah mereka serap. Penilaian terhadap situasi  baru yang lebih bercorak intelektual berlangsung pada generasi tabiin dan tabiit tabiin (tabi'at-tabi'in) karena metode yang dipakai menyerupai  metode ilmu yang dikenal kemudian, bahkan sebagian metode ilmu yang dikenal sekarang berasal dari generasi tersebut. Metode tersebut adalah metode nass, yaitu mencari rujukan kepada ayat-ayat Al-Qur'an dan teks-teks  hadis yang sifatnya langsung, jelas, dan merujuk pada situasi yang dihadapi, atau mencari teks yang cukup dekat dengan situasi atau masalah yang dihadapi bila teks langsung tidak diperoleh. Metode yang lainnya disebut metode kias atau penalaran analogis.
BAB II
PENDEKATAN ILMU
Menurut pendekatan ini, pemikiran tentang hukum adalah ilmu yang paling awal tumbuh dalam Islam. Munculnya sejumlah hadist yang digunakan untuk keperluan pemikiran hukum, di samping ayat-ayat Al-Qur'an, menjadikan hadist pada masa-masa tersebut tumbuh menjadi ilmu tersendiri. Dengan alasan yang berbeda dengan lahirnya ilmu hukum, teologi atau ilmu kalam muncul menjadi ilmu yang berpangkal pada persoalan-persoalan politik, khususnya pada masa kekhalifahan Usman bin Affan dan Ali bin Abi Talib. Ilmu kalam semakin menegaskan dirinya sebagai disiplin ilmu tersendiri ketika serangan yang ditujukan kepada Islam memakai pemikiran filsafat sebagai alat. Oleh karena itu, dirasakan bahwa penyerapan filsafat merupakan suatu keharusan untuk dipakai dalam membela keyakinan-keyakinan Islam.
Perkembangan ilmu paling pesat dalam Islam terjadi ketika kaum muslimin bertemu dengan kebudayaan dan peradaban yang telah maju dari bangsa-bangsa yang mereka taklukkan. Perkembangan tersebut semakin jelas sejak permulaan kekuasaan Bani Abbas pada pertengahan abad ke-8. Pemindahan ibukota Damsyik (Damascus) yang terletak di lingkungan Arab ke Baghdad yang berada di lingkungan Persia yang telah memiliki budaya keilmuan yang tinggi dan sudah mengenal ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani, menjadi alat picu semaraknya semangat keilmuan yang telah dimiliki oleh kaum muslimin.
Pada masa ini umat islam telah banyak melakukan kajian kritis tentang ilmu pengetahuan sehingga ilmu pengetahuan baik aqli ( rasional ) maupun yang naqli mengalami kemajuan dengan sangat pesat. Proses pengalihan ilmu pengetahuan dilakukan dengan cara penerjemahan berbagai buku karangan bangsa-bangsa terdahulu, seperti bangsa yunani, romawi, dan persia, serta berbagai sumber naskah yang ada di timur tengah dan afrika, seperti mesopotamia dan mesir.
Diantara banyak ahli yang berperan dalam proses perkembangan ilmu pengetahuan adalah kelompok Mawali atau orang-orang non arab, seperti orang persia. Pada masa itu, pusat kajian ilmiah bertempat di masjid-masjid, misalnya masjid Basrah. Di masjid ini terdapat kelompok studi yang disebut Hal aqat Al Jadl, Halaqad Al Fiqh, Halaqad Al Tafsir wal Hadist, Halaqad Al-Riyadiyat, Halaqad lil Syiri wal adab, dan lain-lain. Banyak orang dari berbagai suku bangsa yang datang ke pertemuan ini. Dengan demikian berkembanglah kebudayaan dan ilmu pengetahuan dalam islam.
Pada permulaan Daulah Abbasiyah, belum terdapat pusat-pusat pendidikan formal, seperti sekolah-sekolah, yang ada hanya beberapa lembaga non formal yang disebut Masjid. Baru pada masa pemerintahan Harun Al Rasyid didirikanlah lembaga pendidikan formal seperti Darul Hikmah yang kemudian dilanjutkan dan disempurnakan oleh Al Makmun. Dari lembaga inilah banyak melahirkan para sarjana dan ahli ilmu pengetahuan yang membawa kejayaan Daulah Abbasiyah dan umat islam pada umumnya. Masa ini dicatat oleh sejarah sebagai masa kaum muslimin menyerap khazanah ilmu dari luar tanpa puas-puasnya
Pada mulanya, suatu karya diterjemahkan dan dipelajari karena alasan praktis. Misalnya, ilmu kedokteran dipelajari untuk mengobati penyakit khalifah dan keluarganya untuk mendapatkan kesempurnaan pelaksanaan ibadah, ilmu falak berkembang dalam menentukan waktu shalat secara akurat. Akan tetapi, motif awal dipelajarinya ilmu-ilmu tersebut ternyata pada perkembangan selanjutnya mengalami pertumbuhan sedemikian rupa, sehingga tidak lagi terbatas untuk keperluan-keperluan praktis dan ibadah tetapi juga untuk keperluan yang lebih luas, misalnya, untuk pengembangan ilmu itu sendiri. Dengan demikian, ilmu yang diserap itu ditambah dan dikembangkan lagi oleh kaum muslimin dengan hasil-hasil pemikiran dan penyelidikan mereka.
Beberapa disiplin ilmu yang sudah berkembang pada masa klasik Islam adalah: ilmu fikih, ilmu kalam, ilmu hadis, ilmu tafsir, ilmu usul fikih, ilmu tasawuf, yang biasa pula disebut sebagai bidang ilmu naqli, ilmu-ilmu yang bertolak dari nas-nas Al-Qur'an dan hadis. Adapun dalam bidang ilmu aqli atau ilmu rasional, yang berkembang antara lain ilmu filsafat, ilmu kedokteran, ilmu farmasi, ilmu sejarah, ilmu astronomi dan falak, ilmu hitung, dan lain-lain.
Pada masa ini dikenal banyak sekali pakar dari berbagai ilmu, baik orang Arab maupun muslim non-Arab. Sejarah juga mencatat, bahwa untuk pengembangan ilmu-ilmu tersebut para pakar muslim bekerja sama dengan pakar-pakar lainnya yang tidak beragama Islam. Muhammad bin Ibrahim al-Fazari dipandang sebagai astronom Islam pertama. Muhammad bin Musa al-Khuwarizmi (wafat 847M) adalah salah seorang pakar matematika yang mashyur. Ali bin Rabban at-Tabari dikenal sebagai dokter pertama dalam Islam, di samping Abubakar Muhammad ar-Razi (wafat 925M) sebagai seorang dokter besar. Jabir bin Hayyan (wafat 812M) adalah "bapak" ilmu kimia dan ahli matematika. Abu Ali al-Hasan bin Haisam (wafat 1039M) adalah nama besar di bidang ilmu optik. Ibn Wazih al-Yakubi, Abu Ali Hasan al-Mas'udi (wafat 956M), dan Yakut bin Abdillah al-Hamawi adalah nama-nama tenar untuk bidang ilmu bumi (geografi) Islam dan Ibnu Khaldun untuk kajian bidang ilmu sejarah. Disamping nama-nama besar diatas, masih banyak lagi pakar-pakar ilmu lainnya yang sangat besar peranannya dalam perkembangan ilmu pengetahuan.
BAB III
KESIMPULAN
Besarnya pengaruh bidang keilmuan yang ditinggalkan kaum ilmuwan muslim pada abad-abad yang lampau tidak hanya tampak pada banyaknya nama-nama pakar muslim yang disebut dan ditulis dalam bahasa Eropa, tetapi juga pada pengakuan yang diberikan oleh dan dari berbagai kalangan ilmuwan. Zaman Kebangkitan atau Zaman Renaisans di Eropa, yang di zaman kita telah melahirkan ilmu pengetahuan yang canggih, tidak lahir tanpa andil yang sangat besar dari pemikiran dan khazanah ilmu dari ilmuwan muslim pada masa itu.



DAFTAR PUSTAKA
·         Ankersmit, F.R., Refleksi Tentang Sejarah : Pendapat-pendaat Modern tentang Filsafat Sejarah, Cet.1, Pt. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1987.
·         Qardhawi, Yusuf. Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah. Murodi,dkk Sejarah Kebudayaan Islam. PT Toha Putra Semarang.2003.
·         Wuisman, J.J.J.M, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, jilid 1, Lembaga Penerbit FE UI, Jakarta, 1996.


[1] Pendapat-pendaat Modern tentang Filsafat Sejarah, Cet.1, Pt. Gramedia Pustaka Utama hal. 32
[2] Qardhawi, Yusuf. Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah hal 23

0 komentar:

Posting Komentar