Selasa, 05 April 2011

JAMI’ATUL KHOIR DALAM PENDIDIKAN ISLAM

Lahirnya beberapa organisasi Islam di Indonesia lebih banyak karena didorong oleh mulai tumbuhnya sikap patriotism dan rasa nasionalisme serta sebagai respons terhadap kepincangan–kepincangan yang ada di kalangan masyarakat Indonesia pada akhir abad ke 19 yang mengalami kemunduran total sebagai akibat ekploitasi politik pemerintah colonial Belanda. Langkah pertama diwujudkan dalam bentuk kesadaran berorganisasi.

Walaupun banyak berbagai cara yang di lakukan oleh Belanda dengan tujuan untuk membendung pergolakan rakyat Indonesia ekonomi, politik social dan terutama melalui media pendidikan islam namun mereka tidak membawa hasil yang memuaskan, malahan berakibat sebaliknya makin menumbuhkan kesadaran tokoh-tokoh organisasi islam bagaimana untuk melawan penjajah Belanda itu sendiri, dengan cara menumbuhkan dan mengembangkan sikap dan rasa nasionalisme di kalangan rakyat dengan melalui pendidikan. Dengan sendirinya kesadaran berorganisasi yang dijiwai oleh perasaan nasionalisme yang tinggi, menimbulkan perkembangan dan era baru di lapangan pendidikan dan pengajaran. Dan dengan demikian lahirlah Perguruan-perguruan Nasional, yang di topang oleh usaha-usaha swasta (partikelir).

Dalam pembahaasan ini akan membahas sebuah organisasi social yang diddirikan di Jakarta tahun 17 Juli 1905. Organisasi ini terbuka untuk semua muslim tidak memandang asal-usul, tapi mayoritas anggotanya adalah orang Arab. Yang berperan besar dalam organisasi ini adalah para ulama asal Arab Hadramaut dan juga pemuda Alawiyyin, seperti Habib Abubakar bi Ali bin Abubakar bin Umar Shahab, Sayid Muhammad Al-Fakir Ibn. Abn. Al Rahman Al Mansyur, Idrus bin Ahmad Shahab, Ali bin Ahmad Shahab, Abubakar bin Abdullah Alatas, Muhammad bin Abdurrahman Shahab, Abubakar bin Muhammad Alhabsyi dan Syechan bin Ahmad Shahab. Di tangan ulama-ulama inilah Jamiatul Khair tumbuh pesat.

Organisasi social ini bergerak dalam dua bidang, yang pertama, pendirian dan pembinaan satu sekolah pada tingkat dasar , yang kedua mengirimkaan anak-anak ke turki untuk melanjutkan pendidikan. Sedangkan bidang kedua ini mempunyai sedikit hambatan yaitu karena kekurangan biaya dan kemunduran khilafat.

Dalam pembahasan makalah ini mungkin masah banyak kekurangan kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan.

1. JAMIATUR KHOIR

Jam;iat Khair adalah sebuah organisasi social yang ditekankan bergerak di bidang pendidikan. Jam;iat Khair pada awalnya bergerak di sekolah dasar. Sekolah dasar Jam;iat Khair bukan semata-mata mempelajari pengetahuan agama tetapi juga mempelajari pengetahuan umum lainnya seperti lazimnya suatu sekolah dasar biasa, misalnya berhitung , sejarah kebudayaan islam, ilmu bumi, bahasa inggris dan sebagainya. Kurikulum sekolah dan jenjang kelas-kelas telah disusun dan terorganisir dan bahasa pengantar yang dipergunakan untuk mengajar dan setiap harinya yaitu bahasa Indonesia dan bahasa melayu.

Untuk memenuhi tenaga guru yang berkualitas Jam’iat Khair mendatangkan guru-guru dari daerah sendiri ataupun daerah luar negri, salah satunya yaitu Haji Muhammad Mansyur (1907) seorang guru dari padang di minta untuk mengajar di sekolah Jam’iat Khair karena beliau berpengetahuan yang luas baik dalam bidang agama maupun bahasa terutama bahasa melayu. Dan al- Hasyimi di datingkan dari Tunisia sekitar tahun 1911 yang di samping mengajar juga memperkenalkan gerakan kepanduan dan olah raga di lingkungan sekolah Jam’iat Khair.

Pada bulan Desember 1923 (Jumadil Awal1342) didirikan gedung Jam’iat Khair di Tanah Abang yang mempunyai 8 lokal. Kemudian ditambah 2 lokal, sehingga menjadi 10 lokal.

Jam’iat Khair terdiri beberapa tingkat yaitu:

a. Tingkat Tahdiriah Lamanya 1tahun

b. Tingkat Ibtidaiyah Lamanya 6 tahun

c. Tingkat Tsanawiyah Lamanya 3 tahun

Mereka yang yang telah di anggap lulus dari Tsanawiyah dapat menyambung pelajarannya ke Mesir atu ke Mekah. Dan untuk zaman sekarang tinggal di tambah dengan bagian P.G.A. Pertama lamanya 4 tahun (Menurut rencana japenda), yang di terima masuk Tsanawiyah ialah murid-murid tamatan Ibtidaiyah dan yang diterima P.G.A. ialah murid-murid tamatan S.R.

Jamiatul Khair banyak mendatangkan surat kabar dan majalah dari Timur Tengah. Organisasi ini juga melakukan korespondensi (surat-menyurat) dengan tokoh-tokoh pergerakan dan surat kabar luar negeri. Dengan demikian kabar-kabar mengenai kekejaman penjajah Belanda di Indonesia dapat sampai ke dunia luar, antara lain karena melalui Jamiatul Khair. Snouck Hurgronje, seorang orientalis yang berperan besar dalam penaklukan Aceh, dengan terang-terangan bahkan menuding Jamiatul Khair membahayakan pemerintah Belanda. Melalui siswa-siswanya, Jamiatul Khair ikut berkontribusi dalam perjuangan membebaskan tanah air dari cengkeraman para penjajah serta melakukan syiar islam ke seluruh nusantara.

Salah seorang guru yang terkenal adalah Syaikh Ahmad Surokati dari sudan. Dia tampil sebagai tokoh pemikiran-pemikiran baru dalam masyarakat Islam Indonesia. Salah satu pemikirannya adalah bahwa tidak adanya perbedaan di antara sesame muslim. Kedudukan muslim adalah sama, baik keturunan, harta, ataupun pangkat beliau tidak menjadi penyebab adanya diskriminasi dalam islam. Pemikiran ini muncul setelah terjadi pertikaian di kalangan masyarakat Arab yang berkaitan dengan hak istimewa bagi kalangan sayyid( gelar yang di sandang bagi mereka yang memounyai garis keturunan dengan Nabi Muhammad SAW). Di antara yang diperdebatkan adalah larangan kawin bagi wanita sayyid dengan orang yang bukan keturunan sayyid. Bila bertemu dengan oaring sayyid, maka orang yang tidak dari keturunan sayyid, baik Arab atau orang Indonesia, harus mencium tangannya. Apabila tidak melakukannya, bisa menimbulkan pertikaian sehingga terjadi perpecahan di kalangan al-Jam’iat Khair.

Organisasi Pembaharuan Islam ini berkantor di daerah Pekojan di Tanjung Priok (Jakarta). Oleh karena perkembangannya dari waktu ke waktu semakin pesat, maka pusat organisasi ini dipindahkan dari Pekojan ke Jl. Karet, Tanah Abang. Organisasi ini dikenal banyak melahirkan tokoh-tokoh Islam, terdiri dari tokoh-tokoh gerakan pembaharuan agama Islam antara lain, Kyai Haji Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), HOS Tjokroaminoto (pendiri Syarikat Islam), H. Samanhudi (tokoh Sarekat Dagang Islam), dan H. Agus Salim. Bahkan beberapa tokoh perintis kemerdekaan juga merupakan anggota atau setidaknya mempunyai hubungan dekat dengan Jamiatul Khair.

Awalnya memusatkan usahanya pada pendidikan, namun kemudian memperluasnya dengan dakwah dan penerbitan surat kabar harian Utusan Hindia di bawah pimpinan Haji Umar Said Cokroaminoto (Maret 1913). Kegiatan organisasi juga meluas dengan mendirikan Panti Asuhan Piatu Daarul Aitam. Di Tanah Abang, Habib Abubakar bersama sejumlah Alawiyyin juga mendirikan sekolah untuk putra (aulad) di Jl. Karet dan putri (banat) di Jl. Kebon Melati serta cabang Jamiatul Khair di Tanah Tinggi Senen.

Pemimpin-pemimpin Jamiatul Khair mempunyai hubungan yang luas dengan luar negeri, terutama negeri-negeri Islam seperti Mesir dan Turki. Mereka mendatangkan majalah-majalah dan surat-surat kabar yang dapat membangkitkan nasionalisme Indonesia, seperti Al-Mu'ayat, Al-Liwa, Al-ittihad, dan lainnya. Tahun 1903 Jamiatul Khair mengajukan permohonan untuk diakui sebagai sebuah organisasi atau perkumpulan dan tahun 1905 permohonan itu dikabulkan oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan catatan tidak boleh membuka cabang-cabangnya di luar di Batavia.

2. KAMPUNG PAKOJAN

Sebelum ditetapkan sebagai kampung arab, daerah Pekojan dahulu dihuni oleh muslim Koja (Muslim India). Sampai kini masih terdapat Gang Koja, yang telah berganti nama menjadi Jalan Pengukiran II. Di sini terdapat sebuah Masjid kuno Al Anshor yang dibangun pada 1648 oleh para muslim India. Tak jauh dari tempat ini, kira-kira satu kilometer perjalanan, terdapat Masjid Kampung Baru yang dibangun pada pertengahan abad ke-18.

Di Pekojan masih banyak terdapat bangunan-bangunan peninggalan tempo dulu. Misalnya Masjid Langgar Tinggi, yang dibangun pada abad ke-18. Masjid ini telah diperluas oleh Syaikh Said Naum, seorang Kapiten arab. Ia memiliki beberapa kapal dagang dan tanah yang luas di Tanah Abang, yang sebagian telah diwakafkannya untuk tempat pemakaman. Di dekat Langgar Tinggi terdapat sebuah jembatan kecil yang dinamai Jembatan Kambing. Dinamakan demikian, karena sebelum dibawa untuk disembelih di pejagalan (sekarang bernama Jalan Pejagalan), kambing harus melewati jembatan yang melintasi Kali Angke ini terlebih dahulu. Para pedagang di sini telah berdagang secara turun-temurun selama hampir 200 tahun.

Terdapat juga Masjid An Nawier, yang merupakan tempat ibadah yang terbesar di Pekojan. Masjid ini pada tahun 1920 diperluas oleh Habib Abdullah bin Husein Alaydrus, seorang kaya raya yang namanya diabadikan menjadi Jalan Alaydrus, di sebelah kanan Jalan Gajahmada. Pendiri Masjid ini adalah Habib Utsman bin Abdullah bin Yahya.

Di dekat Masjid An Nawier, terdapat Az Zawiyah, sebuah bangunan untuk ibadah dan pendidikan islam yang didirikan oleh Habib Ahmad bin Hamzah Alatas, seorang ulama asal Hadhramaut. Beliau juga merupakan guru dari Habib Abdullah bin Muhsin Alatas, seorang ulama besar yang kemudian berdakwah di daerah Bogor.

Banyak tokoh-tokoh besar yang berasal dan memiliki kaitan sejarah dengan kampung Pekojan. Di antaranya adalah Habib Utsman bin Abdullah bin Yahya yang pernah menjabat sebagai mufti di Betawi. Juga Habib Ali bin Abdul Rahman Al Habsyi, pendiri majlis taklim Kwitang yang sempat belajar pada Habib Utsman di Pekojan. Ada juga seorang ulama besar asli kelahiran Pekojan yang merupakan guru dari syaikh Nawawi Al Bantani. Beliau adalah syaikh Junaid Al Batawi yang sampai akhir hayatnya menjadi guru dan imam di Masjidil Haram. Syaikh Junaid Al Batawi juga diakui sebagai Syaikhul Masyayikh (Mahaguru) dari ulama-ulama madzhab Syafi'i mancanegara pada abad ke-18. beliau pulalah yang pertama kali memperkenalkan nama Betawi di luar Indonesia.

0 komentar:

Posting Komentar